Header Ads

Niagahoster

WS010 - Banjir Darah Di Tambun Tulang

Kiai Bangkalan menggeletak di lantai batu dalam Goa Belerang. Sedikit pun tubuh itu tidak bergerak lagi karena nafasnya sudah sejak lama meninggalkan tubuh. Orang tua itu menggeletak menelentang. Dua buah keris kecil yang panjangnya hanya tiga perempat jengkal berhulu gading menancap di tubuh Kiai Bangkalan. Darah bercucuran menutupi seluruh wajahnya.

Serial Wiro Sableng

Dalam jari-jari tangan kiri Kiat Bangkalan tergenggam secarik kertas tebal empat persegi. Sedang tepat di ujung jari telunjuk tangan kanannya, yaitu pada lantai batu tergurat tulisan TAMBUN TULANG.

Pendekar 212 Wiro Sableng yang berdiri di dekat tubuh tak bernyawa Kiai Bangkalan tidak mengetahui apa arti dua buah kata itu. Apakah nama seseorang yaitu manusia yang telah membunuh orang tua itu, ataukah nama sebuah tempat. Yang diketahuinya ialah bahwa si orang tua telah menuliskan dua buah kata itu pada saat-saat menjelang detik kematiannya karena ujung jari tangan yang dipakai menulis masih terletak kaku di atas huruf terakhir kata yang kedua.

Diam-diam Wiro Sableng memaki dirinya sendiri. Seharusnya dia datang lebih cepat ke Goa Belerang itu sehingga nasib malang begitu tidak terjadi atas diri si orang tua. Kiai Bangkalan tempo hari telah menyuruhnya datang dan menjanjikan akan memberi pelajaran tentang ilmu pengobatan. Kini dia datang terlambat Kiai Bangkalan hanya tinggal tubuh kasarnya saja saja.

Perlahan-lahan pendekar muda ini berlutut di samping tubuh Kiai Bangkalan. Diperhatikannya kertas tebal empat persegi yang tergenggam di tangan kiri Kiai Bangkalan. Ternyata kertas tebal ini adalah robekan kulit sebuah buku. Dan pada kertas itu tertulis SERIBU MACAM ILMU PENGOBATAN.

Wiro Sableng tarik nafas panjang yang mengandung penyesalan. Satu kesimpulan lagi dapat ditarik oleh pendekar ini. Yaitu bahwa Kiai Bangkalan menemui kematiannya dalam mempertahankan sebuah buku ciptaannya. Buku tentang pengobatan itu tentulah sebuah buku yang sangat berguna bagi dunia persilatan hingga seseorang telah mengambilnya dengan jalan kekerasan. Dan Wiro lalu ingat kembali janji Kiai Bangkalan yang hendak mengajarkan ilmu pengobatan kepadanya. Rupanya orang tua itu telah membukukan seluruh macam cara pengobatan yang diketahuinya.

Sepasang mata Wiro Sableng kemudian berputar memperhatikan dua buah keris kecil yang menancap di tubuh Kiai Bangkalan. Menurutnya kedua keris itu pasti mengandung racun jahat karena seseorang yang ditusuk bahkan yang dicungkil kedua matanya belum tentu, menemui kematian. Tak pernah dia sebelumnya melihat keris semacam itu. Kiai Bangkalan bukan seorang berilmu rendah dan melihat pada keanehan bentuk senjata yang menancap itu Wiro sudah dapat menduga, siapapun pembunuh Kiai Bangkalan adanya, manusianya pastilah bukan orang sembarangan! Dan siapakah kira-kira yang telah melakukan perbuatan terkutuk ini?

Untuk beberapa lamanya Pendekar 212 masih berlutut di situ. Akhirnya dia sadar bahwa dia harus menguburkan jenazah Kiai Bangkalan: Didukungnya tubuh tiada bernyawa itu dan melangkah menuju ke pintu. Untuk terakhir kalinya, sebelum meninggalkan ruangan itu, Wiro memandang berkeliling. Dan saat itulah sepasang matanya membentur sebuah benda. Benda itu tadi tidak kelihatan karena tertindih oleh tubuh Kiai Bangkalan yang menggeletak di lantai. Wiro melangkah mendekatinya. Benda yang mulanya disangkanya cabikan pakaian ternyata adalah kulit harimau. Bulunya bagus berkilat, kuning berbelang-belang hitam. Apakah Kiai Bangkalan telah bertempur melawan harimau? Mana mungkin seekor harimau bisa menancapkan dua buah keris aneh di mata orang tua itu? Atau mungkin harimau siluman? Kulit Itu kering dan bersih. Ini membawa pertanda,bahwa itu bukan kulit harimau hidup! Pendekar 212 Wiro Sableng masukkan robekan kulit harimau itu ke dalam saku pakaian lalu meninggalkan ruangan batu tersebut dengan cepat.

Powered by Blogger.