WS006 - Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga
Sampai menjelang tengah malam pesta perkawinan puteri Ki Lurah Rantas Madan dengan putera Ki Lurah Jambar Wulung masih kelihatan meriah. Tamu-tamu duduk di kursi masing-masing sambil menikmati hidangan dan minuman yang diantar para pelayan serta sambil menikmati permainan gamelan dan suara pesinden Nit Upit Warda yang lembut mengalun membawakan tembang Kembang Kacang.
Kedua mempelai yang berbahagia yaitu Ning Leswani dan Rana Wulung kelihatan duduk diantara para tamu dibarisan kursi paling depan, tepat dimuka panggung. Ki Lurah Rantas Madan duduk di samping Rana Wulung bersama istrinya sedang Ki Lurah Jambar Wulung di sebelah Ning Leswani juga bersama istrinya.
Karena masing-masing mempelai yang kawin adalah anak-anak lurah dari dua desa yang berdekatan maka dengan sendirinya suasana perkawinan meriah dan besar-besaran. Malam itu adalah malam pesta perkawinan yang pertama dan besok lusa akan dilanjutkan dengan pesta perkawinan yang kedua dan ketiga.
Pada menjelang dinihari di mana udara dinginnya mencucuk tulang-tulang sampai ke sungsum, tamu-tamu sudah banyak yang pulang. Beberapa orang yang masih disana sudah mengantuk bahkan banyak yang tertidur seenaknya di kursi. Para pemain gamelan di bawah pimpinan Ageng Comal tak ketinggalan ketularan kantuk sehingga Ageng Comal menghentikan permainan sampai di situ.
Ki Lurah Rantas Madan dan Ki Lurah Jambar Wulung bersama istri masing-masing berdiri dari kursi mereka dan disertai beberapa orang lainnya kemudian melangkah mengiringi kedua penganten masuk ke dalam rumah besar yang tentunya terus ke dalam kamar.
Namun, belum lagi rombongan ini mencapai tangga langkan rumah, dari atas atap mendadak berkelebat satu sosok tubuh manusia, melompat ke atas panggung! Kedua kakinya menjejak taron (salah satu alat bunyi-bunyian dalam permainan gamelan) sedang kedua tangan berkacak pinggang.
Jarak atap rumah dan lantai panggung demikian tingginya tapi manusia tadi melompat ke atas taron tanpa menimbulkan suara sedikitpun. Bahkan taron itu sama sekali tidak bergerak ataupun bergeser. Orang ini masih muda belia, berbadan agak kurus dan tinggi. Rambutnya gondrong sampai ke bahu. Pada parasnya yang gagah itu terbayang sifat buas, apalagi jika diperhatikan sepasang bola matanya hal itu akan lebih kentara lagi.
Pemuda ini mengenakan jubah hitam yang sangat panjang sehingga menjela-jela di atas taron dan lantai panggung. Jubah hitam ini disulam dengan bunga besar-besar berwarna kuning. Pada belakang kain penutup kepalanya tertancap sebuah bunga kertas yang juga berwarna kuning. Melihat alat bunyi-bunyian diinjak seenaknya demikian rupa oleh seorang pemuda tak dikenal, tentu saja Ageng Comal menjadi marah sekali. Pemimpin kesenian gamelan ini maju melangkah sambil membentak.
"Pemuda kurang ajar! Turun dari taron itu sebelum kupatahkan batang lehermu!"
Seringai menggurat di wajah si pemuda. Dari mulutnya meledak suara tertawa yang menggetarkan dan menggidikkan serta membuat liang telinga seperti ditusuk-tusuk.
Suara tertawa itu, yang didahului oleh suara bentakan Ageng Comal tadi dengan serta merta membuat semua orang berpaling. Tamu-tamu yang duduk terhenyak tidur di kursi terbangun oleh kedahsyatan tertawa si jubah hitam dan semua mata ditujukan padanya.