WS003 - Dendam Orang-Orang Sakti
Luka besar di bekas kutungan tangan kanannya itu membuat tenaganya semakin lama semakin mengendur. Kalau tadi dengan segala tenaga yang ada macam manusia dikejar setan dia melarikan diri dari pekuburan Djatiwalu itu, maka kini jangankan lari, berjalan melangkah pun dia sudah tidak sanggup. Tubuhnya terhuyung-huyung. Nafasnya megap-megap seperti mau sekarat.
Saat itu dia berada di tepi sebuah jurang. Dalam larinya tadi dia tak memperhatikan lagi ke mana tujuannya sehingga di mana dia berada saat itu adalah satu tempat yang jarang didatangi manuisia. Sunyi senyap mencengkam menegakkan bulu roma. Matanya yang berkunang-kunang, pemandangannya yang semakin mengelam dan daya tenaga yang sudah habis sampai ke batasnya membuat tubuhnya tak ampun lagi jatuh terperosok ke dalam jurang ketika salah satu kakinya terserandung di bebatuan yang menonjol di tepi jurang.
Masih untun jurang itu bukanlah jurang batu, tapi jurang yang penuh ditumbuhi semak belukar. Tubuhnya menggelinding ke bawah membentur semak belukar mengait ranting-ranting pepohonan rendah. Sakit tubuhnya bukan main, apalagi bekas luka kutungan di tangan kanannya. Ketika dia terhampar di dasar jurang, dia tiada sadarkan diri lagi.
Bila dia sadarkan diri maka saat itu matahari sudah hamper tenggelam. Keadaan di dasar jurang sunyi itu gelap dan dingin karena pantulan sinar matahari yang terakhir tidak sampai menyaputi dasar jurang di mana dia berada. Dia berpikir-pikir dimana dia terbujur saat itu. Kemudian denyutan rasa sakit yang amat sangat pada bahu kanannya yang bunting dan masih melelehkan darah itu, membuat dia ingat segala sesuatunya apa yang telah terjadi.
Dia - Kalingundil - beberapa jam yang lalu telah bertempur melawan seorang pemuda sakti bernama Wiro Sableng. Dalam pertempuran itu bukan saja dia terpaksa melarikan diri tapi juga terpaksa kehilangan tangan kanannya karena telah dibetot puntung oleh lawannya.
Dan mengingat ini, diantara rasa sakit yang tiada terkirakan, memerih pula rasa dendam kesumat yang amat sangat. Walau bagaimanapun dia musti dapat meneruskan hidupnya, meski cuma bertangan sebelah. Meski bagaimanapun dia harus dapat membalaskan dendam kesumat akibat perbuatan pemuda Wiro Sableng yang telah membuat dia cacat seumur hidup itu.
Ketika kedua matanya melihat bintang-bintang yang bermunculan di langit di atasnya barulah disadarinya bahwa hari sudah menjadi malam. Kalingundil tahu bahwa semalam-malaman itu dia tak akan bisa terus terbujur di situ. Dipalingkannya kepalanya ke kanan. Hanya semak belukar dan pohon-pohon berdaun lebar yang dilihatnya dalam kegelapan. Kemudian dipalingkannya pula kepalanya ke samping kiri. Mula-mula juga hanya kegelapan yang dilihat lelaki itu. Namun samar-samar kemudian diantara semak belukar dalam kegelapan itu matanya masih dapat melihat satu legukan batu di dasar jurang. Jaraknya dengan tempat dia terbujur saat itu kira-kira sepuluh tombak. Dari pada terbujur di tempat terbuka begitu, Kalingundil berpikir lebih baik pindah tempat ke cegukan batu itu.
Tapi dengan keadaan dan kekuatan badan seperti itu tidak mudah bagi Kalingundil untuk berpindah tempat. Jangankan untuk berdiri, merangkakpun tidak bisa. Jangankan untuk beringsut, bergerak sedikitpun sekujur tubuhnya terasa sakit bukan main, tulang-tulang anggotanya serasa bertanggalan. Namun dengan keyakinan penuh untuk bisa menyelamatkan diri, dengan mengumpulkan segala sisa tenaga yang masih ada, seingsut demi seingsut akhirnya berhasil juga Kalingundil mencapai legukan batu itu. Ternyata legukan ini adalah mulut sebuah goa. Dan pada saat itu dia berhasil mencapai mulut goa itu, untuk kedua kalinya Kalingundil jatuh pingsan kembali.
Kalingundil sadarkan diri pada keesokan paginya. Beberapa jam sesudah matahari terbit. Anehnya tubuhnya terasa lebih mendingan dibandingkan dengan keadaan hari kemarin. Kalingundil tak habis pikir, kenapa hal ini bisa terjadi. Bahkan ketika dia coba menggerakkan badan dirasakannya kekuatannya yang malam tadi sudah habis sampai ke batas terakhir kini mulai berangsur kembali. Dia duduk bersandar ke dinding goa. Pada saat itulah dirasakannya bahwa dari dalam goa keluar semacam hawa yang lembab ngilu-ngilu kuku. Hawa inilah agaknya yang telah mempengaruhi keadaan diri Kalingundil yang telah memberikan kepulihan kekuatan kepadanya.