Header Ads

Niagahoster

WS068 - Pelangi Di Majapahit

Kuda bernama Grudo yang ditunggangi Pendekar 212 dan Raden Ayu Gayatri bergerak tidak terlalu cepat. Sebentar lagi mereka akan keluar dari kawasan hutan belantara dan langsung menuju pinggiran timur kotapraja. Disitu Wiro akan melepaskan putri bungsu Prabu Singosari itu. Walau dia akan terlepas dari beban berat menjaga keselamatan sang dara, namun perpisahan membuat hatinya agak haru.

Serial Wiro Sableng

Saat itu menjelang dini hari. Udara masih gelap dan hawa terasa dingin. Mendekati dua buah pohon besar yang terletak mengapit kira-kira dua tombak di depan jalan yang mereka tempuh, murid Eyang Sinto Gendeng perlambat langkah Grudo. Dia memandang tak berkesip ke arah dua pohon besar di kiri kanan jalan.

"Ada apa?" bisik Gayatri bertanya.

"Saya punya firasat tidak enak. Mungkin sekali ada seorang yang sembunyi di balik pohon menghadang kita," jawab Wiro.

"Gandita?"

"Mungkin, tapi bisa juga orang lain. Atau Gandita bersama orang lain."

"Kalau begitu kita ambil jalan lain saja," mengusulkan Gayatri.

Wiro mengangguk. Dia menarik tali kekang Grudo. Namun belum sempat dia memutar kuda itu, tiba-tiba di belakangnya terdengar suara desiran angin disertai berkelebatnya satu bayangan hitam. Bersamaan dengan itu Gayatri yang duduk di belakang Wiro terdengar menjerit.

Wiro membalik dan terkejut besar. Gayatri tak ada lagi di belakangnya. Pendekar 212 melompat dari atas kuda. Begitu menjejak tanah dia langsung alirkan tenaga dalam ke tangan kanan. Tapi dia tidak melihat bayangan siapapun. Tiba-tiba terdengar suara kaleng berkerontangan dalam kegelapan malam. Suara kerontangan lenyap, menyusul terdengar suara tawa bergelak di samping kiri. Wiro cepat berpaling ke arah itu. Tiga tombak di hadapannya, dekat serumpun semak belukar dilihatnya Gandita bertolak pinggang.

"Bangsat! Kau menculik...!"

"Apa kau lihat kawanmu itu ada bersamaku?" ujar Gandita dengan seringai mengejek.

"Aneh, bangsat ini tampak biasa-biasa saja. Padahal sebelumnya dia jelas menderita luka dalam parah," pikir wiro. Pasti sesuatu terjadi dengan dirinya. Mungkin ada orang pandai luar biasa yang menolong dan mengobatinya.

Gandita tak bergerak di tempatnya, juga tidak menunjukkan tanda-tanda hendak menyerang. Dengan senyum mengejek dia berkata. "Kau masih ingin mencari temanmu yang berkumis tapi punya suara seperti perempuan itu?! Lihat apa yang terjadi di balik pohon besar sebelah kanan sana!"

Sesaat Wiro agak bimbang. Namun ketika dia menangkap suara seperti orang sedang berkelahi dari arah pohon besar yang disebutkan Gandita, maka murid Eyang Sinto Gendeng segera berkelebat ke balik pohon itu. Begitu sampai di balik pohon besar, murid Eyang Sinto Gendeng jadi terkejut menyaksikan apa yang terjadi.

Di situ dilihatnya seorang kakek berkulit hitam dengan rambut di gelung ke atas dan bertubuh tinggi dengan tampang kuyu sedih tengah mengepit tubuh

Gayatri di tangan kirinya. Orang tua berpakaian selempang kain putih ini keluarkan suara seperti orang menangis sesenggukan terus menerus.

Astaga! Manusia ini adalah Dewa Sedih, kakak Dewa Ketawa, pentolan kaki tangan pemberontak. "Celaka," membatin Wiro. "Jangan-jangan dia yang telah mengobati Gandita."

Gayatri sendiri yang saat itu berada dalam keadaan tak berdaya, tertotok dan dikepit erat oleh kakek berkulit hitam. Sambil mengepit Gayatri, si kakek berkelahi menghadapi seorang lawan dan dari mulutnya masih saja terus terdengar suara seperti menangis. Yang dihadapi Dewa Sedih saat itu adalah seorang kakek aneh memakai caping lebar di kepalanya. Dia memanggul sebuah buntalan besar. Di tangan kirinya dia memegang sebuah tongkat kayu sedang di tangan kanannya ada sebuah kaleng rombeng berisi batu-batu kerikil. Setiap saat kaleng rombeng ini digoyang-goyangkannya sehingga mengeluarkan suara berkerontangan. Tangan kirinya yang memegang tongkat bergerak kian kemari dalam gerakan aneh yang ternyata adalah serangan-serangan ganas yang mengurung kakek hitam.

Bagaimanapun kakek hitam ini berusaha bertahan dan mencoba membalas namun serangan tongakt itu sulit ditembusnya. Masih untung dia belum sempat kena gebuk atau tertusuk ujung tongkat. Yang sungguh luar biasanya lagi ialah bahwa kakek bercaping lebar dan berpakaian compang-camping seperti pengemis itu ternyata kedua matanya tidak memiliki bagian hitam barang sedikit pun. Sepasang mata kakek aneh ini putih semua dan tentu saja ini berarti bahwa dia sebenarnya tidak dapat melihat alias buta.

"Kakek Segala Tahu!" seru Pendekar 212 ketika dia mengenali siapa adanya kakek buta itu.

"Husss...! Jangan berisik! Biar aku memberi pelajaran pada tua bangka cengeng yang hendak menculik temanmu ini! Jika dia tidak mau melepaskan temanmu itu, terpaksa aku menghentikan tangisnya. Menghentikan tangisnya berarti menghentikan jalan nafasnya," berkata si kakek buta lalu kembali dia goyang-goyangkan kaleng rombengnya sambil tertawa mengekeh.

Powered by Blogger.