Header Ads

Niagahoster

WS067 - Halilintar Di Singosari

Arus Kali Brantas mengalun tenang di pagi yang cerah itu. Sebuah perahu kecil meluncur perlahan melawan arus dari arah Trowulan. Di atasnya ada dua orang penumpang berpakaian seperti petani. Yang satu berusia hampir setengah abad. Rambutnya yang disanggul di sebelah atas sebagian nampak putih. Raut wajahnya yang terlindung oleh caping lebar jauh lebih tua dari usia sebenarnya. Kumis dan janggutnya lebat. Tetapi jika orang berada dekat-dekat padanya dan memperhatikan wajahnya dengan seksama, akan ketahuan bahwa kumis dan janggut lebat itu adalah palsu.

Serial Wiro Sableng

Orang bercaping itu duduk di sebelah depan perahu. Kedua matanya memandang lurus-lurus ke muka. Sesekali tangan kanannya meraba sebilah keris yang terselip di pinggang, tersembunyi di balik pakaian hitamnya. Orang kedua adalah pemuda berbadan kekar. Pakaiannya lecek dan basah oleh keringat. Sehelai kain putih terikat di keningnya. Rambutnya yang panjang tidak disanggul di atas kepala, tapi dibiarkan terlepas menjela pundak.

"Gandita, aku sudah dapat melihat pohon cempedak miring di tepi kali di ujung sana," berkata lelaki yang lebih tua.

Gandita, pemuda yang mendayung perahu, meninggikan lehernya sedikit dan memandang jauh ke muka. Memang dia pun dapat melihat pohon cempedak yang dikatakan orang itu tadi. Pohon cempedak itu tumbuh di tepi kali dalam keadaan miring. Lebih dari separuh batangnya sampai ke puncak pohon membelintang di atas Kali Brantas.

"Saya juga dapat melihatnya dari sini, Adipati," ujar Gandita. "Sebentar lagi kita akan sampai. Menurut Adipati apakah orang-orang Kediri itu akan datang?"

"Manusia bernama Adikatwang itu tidak pernah tidak menepati janji. Dia pasti datang. Kalau dia tidak datang berarti dia telah bertindak tolol. Kesempatan hanya ada satu kali. Sekali lewat jangan harap bakal muncul lagi."

Gandita mendayung, perahu meluncur perlahan. Da1am hati dia berkata, "Kalau orang-orang Kediri tidak muncul, sungguh gila jauh-jauh datang dari Madura seperti ini."

Saat demi saat perahu semakin dekat ke pohon cempedak miring. Tepat di bawah batangnya yang membelintang di atas kali, Gandita merapatkan perahu ke tebing.

"Tidak kelihatan siapapun," kata orang yang dipanggil dengan sebutan adipati. Dia bernama Wira Seta dan dia memang adalah seorang adipati dari Madura.

"Saatnya kita mengeluarkan tanda rahasia," kata Wira Seta.

Gandita mengangguk. Dia bangkit dan berdiri di atas perahu. Sesaat pemuda ini memandang berkeliling. Lalu kedua tangannya dibulatkan dan diletakkan di depan bibir. Dari mulut Gandita keluar suara seperti bunyi burung tekukur. Lalu sunyi. Kedua orang dalam perahu menunggu dengan air muka tampak tegang.

"Aneh, tak ada sahutan," kata Wira Seta. "Mungkin mereka belum sampai di sini?"

Gandita tidak menyahut.

"Coba sekali lagi!" kata Wira Seta.

Kembali pemuda itu menirukan suara burung tekukur. Lalu sunyi lagi. Tiba-tiba ada suara suitan merobek kesunyian. Disusul oleh suara burung tekukur.

Wira Seta tampak lega. "Mereka sudah ada di sini. Sebaiknya kita naik ke darat."

Kedua orang itu keluar dari perahu, melompat ke tebing kali lalu naik ke darat. Pada saat itu rerumpunan semak belukar di sebelah kanan nampak tersibak. Dua orang berpakaian prajurit Kediri muncul. Keduanya membawa panah dan saat itu keduanya telah merentang busur, membidikkan anak panah ke arah Wira Seta dan Gandita.

"Panah beracun," kata Gandita dalam hati begitu melihat ujung panah yang terbuat dari besi berwarna sangat hitam. Baik dia maupun Wira Seta tetap berlaku tenang.

"Prajurit-prajurit Kediri, mana pemimpin kalian?" tanya Wira Seta.

Salah seorang prajurit menjawab. "Kami dipesan agar melihat benda tanda jati diri lebih dahulu sebelum membawa pada pemimpin kami."

Gandita berpaling pada Wira Seta. Adipati ini keluarkan keris yang terselip di pinggangnya lalu memperlihatkannya pada prajurit yang masih tegak dengan membidikkan panah beracun tepat ke arah jantungnya. Keris ini gagang dan sarungnya terbuat dari perak murni. Pada bagian-bagian tertentu dilapisi emas serta beberapa buah permata. Pada badan sarung dan gagang keris terdapat ukiran kepala singa dengan badan berbentuk manusia. Inilah keris Narasinga, salah satu senjata pusaka Keraton Kediri yang berasal dari sesepuh dan pendiri kerajaan yaitu Sang Prabu Kameswara.

Kedua prajurit Kediri itu segera mengenali keris Narasinga. Mereka mengangguk lalu menurunkan busur masing-masing. Yang satu berkata, "Ikuti kami!"

Setelah melewati beberapa kelompok rerumpunan semak belukar, di satu tempat yang agak terbuka kelihatan sepuluh orang prajurit berkuda. Salah seorang dari mereka, yang bertindak sebagai pemimpin segera turun dari kuda. Beberapa saat dia memandangi lelaki bercaping, berkumis, dan berjanggut tebal itu seperti tengah meneliti. Kemudian cepat dia memberi penghormatan seraya berkata, "Harap maafkan, saya tidak mengenali Adipati dalam penyamaran ini!" Prajurit-prajurit lainnya segera pula memberi penghormatan.

Wira Seta membalas penghormatan itu dan memandang berkeliling lalu bertanya, "Mana pemimpin kalian?"

"Beliau segera datang. Harap Adipati suka bersabar sesaat!" jawab prajurit yang ditanya.

Tak lama kemudian seekor kuda hitam besar muncul ditunggangi seorang lelaki berusia hampir enam puluh tahun berpakaian sederhana. Rambutnya hitam tebal disanggul di atas kepala. Orang ini turun dari kudanya, berjalan mendekati Wira Seta lalu tersenyum.

Powered by Blogger.