Header Ads

Niagahoster

WS066 - Singa Gurun Bromo

Warung nasi Mbok Sinem kecil, tapi tamunya selalu penuh dari pagi sampai malam. Lezat makanannya terkenal sampai ke mana-mana. Siang itu banyak orang bersantap di sana. Para pengunjung begitu selesai makan cepa-cepat membayar dan pergi. Mereka seperti mengawatirkan sesuatu. Tapi nyatanya mereka tidak pergi begitu saja melainkan tegak di bawah pohon tak jauh dari warung. Orang-orang ini sengaja berdiri di sini, memandang warung, sepertinya ada sesuatu yang mereka tunggu dan hendak mereka saksikan.

Serial Wiro Sableng

"Kalau Singa Gurun Bromo berani muncul, dia tak bakal lolos," berkata seorang lelaki muda berbadan langsing. Setelah menyedot rokok kawungnya dalam-dalam dia melanjutkan, "Seharusnya dia tak perlu datang ke Kuto Inggil ini. Ah, mengapa dia berlaku setolol itu."

"Bagaimanapun Kuto Inggil adalah kampung halamannya. Tempat dilahirkan. Walau ayah dan ibunya sudah tak ada, tak ada sanak tak ada kadang, mana mungkin dia melupakan Kuto Inggil," menyahuti kawan lelaki muda tadi.

Orang ketiga ikut bicara. "Enam tahun dia menghilang. Kalau dia berani muncul pasti dia sudah membekal ilmu yang lebih tinggi. Ingat kejadian enam tahun lalu? Waktu dia melumpuhkan para pengawal kadipaten, memberi malu Adipati Dirgo Sampean."

Orang pertama rangkapkan kedua lengannya di depan dada lalu berkata. "Singa Gurun boleh punya segudang ilmu. Tapi kau lihat berapa orang yang ada di dalam dan di luar warung itu. Lalu siapa-siapa saja mereka. Dulu kalau dia memang tidak bersalah seharusnya dia tak usah melarikan diri."

"Kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Belum tentu dia kabur karena bersalah. Bisa saja hanya untuk menghindari malapetaka yang lebih besar. Kau tahu sendiri, kedua orang tuanya menjadi korban dari masalah yang tidak pernah terjelaskan itu."

"Yah..., kita lihat saja apa yang bakal terjadi kelak."

Saat itu di dalam warung nasi Mbok Sinem yang ramai, di antara para tamu yang duduk menikmati makan siang terdapat enam orang berpakaian petani. Yang dua bertubuh tegap kekar serta memiliki pandangan mata liar. Mereka adalah dua orang perwira tinggi kerajaan yang bersama prajurit manyamar sebagai petani. Di balik baju-baju gombrrong yang mereka kenakan, tersembunyi golok. Di luar warung masih ada delapan prajurit lagi yang menyamar sebagai penduduk biasa. Lalu agak jauh dari warung, dekat serumpun pohon bambu, berdiri dua orang berusia sekitar lima puluh tahun. Sikap mereka tenang tapi pandangan mata keduanya tajam. Mereka adalah tokoh-tokoh silat istana. Yang pertama dikenal denaan nama Ki Bumi Wirasulo dan satunya Mangku Sanggreng. Kedua tokoh silat ini muncul di Kuto Inggil atas permintaan Adipati Dirgo Sampean setelah salah seorang dari mata-mata yang disebar melaporkan bahwa Panji Argomanik, pemuda yang lebih dikenal dengan julukan Singa Gurun Bromo itu akan muncul di Kuto Inggil setelah menghilang selama enam tahun.

Saat itu udara panas sekali. Matahari bersinar terik. Sudah sejak lama hujan tak pernah turun. Bumi Tuhan menjadi gersang. Kalau angin bertiup debu jalanan beterbangan menyakitkan mata dan menyesakkan jalan nafas.

"Lihat! Singa Gurun datang!" seorang berseru seraya menunjuk ke ujung jalan. Semua mata serta-merta memandang ke arah yang ditunjuk. "Dia benar-benar berani mati."

Di tikungan jalan saat itu muncul seprang penunggang kuda coklat berpakaian dan berikat kepala putih. Debu beterbangan di belakang kuda tunggangannya. Dalam waktu singkat dia sudah berada di depan warung Mbok Sinem. Selesai menambatkan kudanya pada sebuah tiang bambu, sambil bersiul-siul dia melangkah menuju pintu warung. Masuk ke dalam warung dilihatnya hanya ada satu bangku yang masih kosong, tepat di tengah ruangan.

Sesaat pemuda ini tegak mengusap-usap dagunya. Dalam hatinya dia berkata, "Aneh satu-satunya bangku kosong berada di tengah ruangan. Sepertinya ada yang sengaja mengatur."

Setelah melirik ke kiri dan ke kanan, pemuda ini lalu melangkah ke arah bangku kosong. Baru saja dia duduk di situ tiba-tiba beberapa orang di sekitar meja berdiri dan terdengar suara-suara senjata dicabut dari sarungnya. Lalu menyusul suara bentakan-bentakan.

"Singa Gurun Bromo! Jangan kau berani bergerak!"

"Berani melawan amblas nyawamu!"

Pemuda yang barusan duduk di bangku tentu saja menjadi kaget dan memandang berkeliling. Enam orang lelaki tak dikenal mengurung dengan golok di tangan. Yang dua dengan gerakan kilat menyergap ke arahnya. Satu menempelkan ujung golok ke perut, dan satunya lagi membelintangkan senjatanya di leher si pemuda.

Setelah sirap kagetnya, si pemuda tampak tenang, malah meyeringai. "Sobat! Kalau kalian hendak merampokku, kalian salah mencari mangsa. Aku hanya seorang manusia miskin. Apaku yang hendak kalian rampok?"

Enam orang yang mengurung tampak berubah kelam tampang mereka tanda menahan amarah. Yang menghunuskan goloknya ke leher si pemuda tekankan senjatanya hingga kulit leher pemuda itu teriris luka. Dia berkata dengan suara bergetar. "Kami bukan perampok. Aku dan kawanku adalah perwira tinggi kerajaan. Empat orang ini prajurit-prajurit kelas satu."

"Eh, hebat! Lalu apa mau kalian? Hendak menyembelihku? Aku bukan singa, apalagi kambing."

"Sebelum mampus memang tak ada salahnya kau bergurau dulu. Nanti kalau sudah di liang kubur buronan Singa Gurun Bromo hanya bisa bergurau dengan setan-setan kuburan!"

"Eh, kau menyebut aku buronan? Kau tadi menyebut namaku apa? Singa Gurun...?

"Panji Argomanik! Jangan kau berpura-pura!" bentak orang yang menodong dengaa ujung goloknya ke perut si pemuda.

"Nah, nah! Sekarang kau menyebut aku Panji Argomanik! Kalian ini aneh-aneh saja. Sudah pergi sana! Aku ke sini mau mengisi perut bukan ikut-ikutan sandiwara konyolmu ini!"

"Siapa yang konyol dan siapa yang main sandiwara?!" bentak salah seorang dari perwira tinggi itu. "Aku Kunto Areng, perwira kerajaan. Mengikuti amarah aku bisa mencincangmu saat ini juga. Tapi sri baginda dan adipati ingin melihat kau mampus di tiang gantugnan."

"Mencincangku? Memangnya aku daging perkedel?" semprot si pemuda lalu menyeringai lebar.

"Setan alas!" maki Kunto Areng. Lalu dua jari tangan kirinya bergerak cepat menusuk ke arah dada si pemuda untuk menotok. Tapi dengan cepat si pemuda itu angkat tangan kanannya. Sekali bergerak dia berhasil menangkap lengan Kunto Areng.

"Orang gila!" desis pemuda itu. "Siapapun kau adanya, aku muak melihat tampangmu! Aku bukan Panji Argomanik, juga bukan singa Gurun Bromo! Pergi!" si pemuda tahan tangan kanan Kunto Areng yang memegang golok dengan tangan kirinya sedang tangan kanannya dengan cepat membuat gerakan aneh. Tahu-tahu tubuh perwira tinggi kerajaan itu terlempar ke atas. Dari mulut Kunto Areng keluar suara jerit kesakitan. Sambungan siku dan sambungan tulang bahunya berderak.

Powered by Blogger.