Header Ads

Niagahoster

WS063 - Neraka Krakatau

Mata manusia biasa akan melihatnya sebagai suatu hal yang tidak dapat dipercaya. Namun ini adalah kenyataan. Sebuah perahu kecil meluncur deras seolah membelah air laut di selat Sunda menuju ke arah barat laut. Saat itu tengah hari tepat. Sang surya memancarkan sinarnya yang paling panas pada puncak ketinggiannya.

Serial Wiro Sableng

Di atas perahu tampak duduk seorang nenek berwajah angker. Tubuhnya kurus kering. Mukanya seperti tengkorak karena hanya tinggal kulit pembalut tulang. Dia mengenakan pakaian warna hijau tua.

Perempuan tua ini memegang sebuah pendayung di tangan kirinya. Sikapnya mendayung acuh tak acuh saja. Tetapi kekuatan dayungannya membuat perahu yang ditumpanginya melesat deras di permukaan air laut yang bergelombang. Rambutnya yang putih panjang riap-riapan ditiup angin.

Sambil mendayung mulutnya yang perot terdengar menyanyi. Syair nyanyiannya terasa aneh.

Dosa muda salah kaprah
Jangan harap ampunan pasrah
Tujuh samudera akan kutempuh
Seribu badai akan kutantang
Yang berdosa berpura lupa
Berlagak bodoh seolah gagah
Kalau tak muncul perlihatkan dada
Anak turunan kujadikan mangsa
Sang istri sudah kudapat
Menyusul kini anak keempat
Satu persatu kubuat sekarat
Agar terkikis dendam berkarat

Ketika matahari muali bergeser ke barat, di kejauhan mulai kelihatan pantai Pulau Rakata. Lebih jauh lagi ke pedalaman menjulang Gunung Krakatau. Agaknya pulau inilah yang menjadi tujuan nenek angker itu. Si nenek menyeringai. Aneh, meski sudah berusia hampr 70 tahun tapi dia memiliki deretan gigi yang masih lengkap atas bawah. Hanya saja dua taringnya sebelah atas tampak lebih panjang seperti taring srigala hutan dan membuat tampangnya tambah mengerikan.

Nenek itu kembali tampak menyeringai. Dia memandang ke lantai perahu. Astaga! Ternyata di atas perahu itu dia tidak sendirian. Sesosok tubuh lelaki berusia sekitar 40 tahun tergeletak tak bergerak. Wajah dan dadanya yang tidak tertutup baju kelihatan penuh dngan guratan-guratan luka yang dalam dan mengerikan. Tidak dapat dipastikan apakah lelaki ini masih hidup atau sudah mati. Rupanya dia hanya pingsan. Sesaat terdengar orang ini siuman dan mengerang.

"Air..., tolong...," terdengar suaranya meminta, sangat perlahan.

"Apa? Kau haus? Minta minum? Baik! Akan kuberi minum!"

Dari lantai perahu nenek ini mengambil sebuah batok kelapa. Dengan batok ini diciduknya air laut. "Ini, minumlah!" Lalu isi batok diguyurkan ke dalam mulut orang yang terbuka setengah mati menderita haus itu.

Air laut asin itu tentu saja tidak akan melepas dahaga orang yang meminta. Sebaliknya orang ini malah keluarkan suara tercekik. Kedua matanya sejak tadi terpejam kini terbuka mendelik. Suara cekikan disusul dengan suara erangan tertahan.

Air asin seolah mencekik tenggorokannya. Lalu sepasang mata itu tidak bergerak lagi dan hanya bagian putihnya saja yang kelihatan. Mati. Orang yang menggeletak di lantai perahu itu telah menemui ajalnya.

Anehnya si nenek tertawa mengekeh mengetahui orang itu mati. Seolah dia sangat membenci orang tua itu dan sama sekali tidak peduli akan kematiannya.

"Kau akhirnya mampus juga, Sampan! Aku sebenarnya kasihan padamu. Kau hanya anak yang menerima celaka karena dosa orang tuamu! Tapi tidak usah khawatir. Masih ada lima orang manusia lagi yang punya pertalian darah sangat dekat denganmu yang bakal menerima kematiannya, hik...hik...hik..! Kau tak usah cemas Sampan. Bukankah kau bakal berkumpul dengan kau punya ibu walau tidak satu liang kubur? Hik...hik...hik...!"

Si nenek mengayuh lagi perahunya acuh tak acuh. Pantai Pulau Rakata semakin dekat. Dari mulutnya kembali terdengar suara nyanyian tadi.

Jangan harap ampunan pasrah
Tujuh samudera akan kutempuh
Seribu badai akan kutantang

Serombongan burung camar tampak terbang cerai-berai ketika seekor elang besar tiba-tiba muncul dan menyerbu. Pada saat itulah perahu si nenek angker mencapai tepi pantai Pulau Rakata pada sebuah teluk yang sempit. Perempuan ini melompat turun ke darat. Masih sambil menyanyi-nyanyi dia menarik perahu ke bawah sebatang pohon kelapa di tepi pasir.

Beberapa lama sebelum nenek dan perahunya mendarat di Pulau Rakata, dua orang leleaki berpakaian serba merah berlari cepat dari arah gunung.

"Kita sudah memeriksa hampir seluruh tepian kawah," berkata orang yang di sebelah kanan. Namanya Supit Jagal. Di pinggangnya ada sebuah golok besar berbentuk segi empat seperti golok tukang jagal. "Jangan-jangan cerita tentang batu mustika itu hanya tipuan belaka."

Kawannya berhenti berlari. "Coba kita lihat lagi peta rahasia itu!" katanya lalu mengeluarkan satu lipatan kertas dari kantong baju merahnya. Lipatan kertas dibukanya kemudian dibentangkannya di atas pasir. Pada kertas yang terkembang itu terlihat gambar kasar Pulau Rakata lengkap dengan Gunung Krakatau. Di sekitar kawah ada tanda-tanda silang. Tanda silang itu juga terlihat pada beberapa bagian peta yang menghadap ke Selat Sunda. "Tanda silang di sebelah ujung kawah sini merupakan bagian pulau yang belum kita selidiki. Bagaimana kalau kita menyelidik ke bagian tanda silang sebelah kanan. Tampatnya tak berapa jauh dari sini."

"Aku setuju Tubagus Singagarang. Agaknya kita tadi terlalu jauh mendarat ke sebelah utara. Ini gara-gara angin keras di selat tadi."

Tubagus Singagarang melipat peta itu kembali dan menyimpannya di dalam saku. Bersama Supit Jagal dia bergerak ke arah tenggara Pulau Rakata. Angin laut bertiup kencang memapas arah lari mereka. Di satu tempat, Tubagus Singagarang hentikan larinya. Dia menunjuk ke arah deretan bagian kawah paling gersang dan agak mendaki di bagian timur.

Powered by Blogger.