Header Ads

Niagahoster

WS050 - Mayat Hidup Gunung Klabat

Ini satu pemandangan yang mengerikan bagi siapa saja yang menyaksikan. Bagaimana tidak, di malam buta ketika tak ada rembulan dan langit tidak pula berbintang, dibawah kepekatan yang menghitam gelap disertai hembusan angin mencucuk dingin, ditambah dengan turunnya hujan rintik-rintik, seekor kuda putih berlari kencang menuju puncak Gunung Klabat. Sambil lari binatang ini tiada hentinya keluarkan suara meringkik keras dari sela mulutnya yang berbusa.

Serial Wiro Sableng

Di atas punggung kuda putih itu membelintang sesosok tubuh yang sudah tidak bernyawa lagi. Sesosok mayat seorang lelaki separuh baya berambut panjang sebahu dengan luka bekas bacokan pada pangkal lehernya. Sebagian wajah dan leher serta dadanya dibasahi oleh darah yang masih hangat tanda orang ini belum begitu lama menemui ajalnya.

Di belakang mayat yang membelintang di atas punggung kuda itu, duduk seorang perempuan berwajah bulat, berpakaian merah. Rambutnya yang panjang tergerak lepas dan berkibar-kibar ditiup angin. Perempuan inilah yang memacu kuda itu dengan segala kemampuan yang ada. Dia menunggang kuda putih sambil air mata mengucur membasahi kedua pipinya yang merah.

Betapapun mengerikan melihat berkelebatnya tiga mahluk itu dalam kegelapan malam namun mereka bukanlah setan atau mahluk jejadian. Ketiganya tetap mahluk ciptaan Tuhan, dua dalam keadaan hidup dan satu sudah jadi mayat.

Menjelang dinihari, kuda putih itu mencapai puncak gunung yang sangat curam dan perjalanan tak mungkin diteruskan dengan menunggangi binatang itu. Menyadari hal itu, perempuan muda penunggang kuda cepat melompat turun, menarik sosok mayat lelaki lalu memanggulnya di bahu kanan. Sebelum pergi, dia memegang leher binatang itu dan berkata, "Putih, kau tetap disini! Tunggu sampai aku kembali!"

Seperti mengerti ucapan orang, kuda putih itu meringkik keras, lalu tundukkan kepalanya, menyusup mencari rerumputan liar di antara semak belukar.

Setengah berlari perempuan muda itu memanggul mayat di bahu kanannya menuju puncak gunung sementara di timur langit mulai tampak membersitkan sinar kekuning-kuningan tanda tak lama lagi sang surya akan kembali muncul menerangi bumi Tuhan.

Di puncak gunung yang temaram itu, udara semakin ke atas terasa dingin. Tapi perempuan yang memanggul mayat itu justru telah basah kuyup pakaian merahnya. Sekujur tubuhnya sakit dan letih bukan kepalang bahkan kedua kakinya laksana kaku dan sukar untuk diajak berlari lebih cepat. Namun kekerasan hatinyalah yang membuat perempuan itu terus bersikeras mendaki sampai ke puncak teratas gunung Klabat. Dan tepat ketika sang surya tampak menyembul di ufuk timur, dia sampai di puncak gunung. Matanya memandang ke arah sebuah pondok kayu beratap ijuk, satu-satunya bangunan di tempat itu. Dia langsung melangkah naik ke atas langkan berlantai papan dan mengetuk pintu yang tertutup.

"Bapak Tua Walalangi, bukakan pintu! Saya datang dari jauh membawa berita buruk. Saya memerlukan bantuanmu!" Lalu perempuan itu kembali mengetuk pintu lebih keras dari tadi.

Di dalam terdengar suara tempat tidur berderik. Disusul suara orang berdehem beberapa kali. Kemudian terdengar langkah-langkah kaki menuju ke pintu. Sesaat kemudian pintu itu terbuka dengan mengeluarkan suara berkereketan.

"Tamu dari mana yang muncul pagi-pagi buta begini?" satu suara lebih dulu terdengar baru menyusul muncul orangnya dari balik daun pintu. Orang ini ternyata adalah seorang kakek berwajah tirus, berambut putih panjang sebahu tapi jarang, mengenakan baju lengan panjang dan celana gombrong putih.

"Saya Sulami Tangkario datang dari selatan gunung Klabat."

"Tangkario? Hem..., aku pernah dekat dengan nama keluarga Tangkario. Tapi...," si orang tua dongakkan kepalanya. Cuping hidungnya sesaat tampak mengembang.

"Hemmm..., aku mencium bau mayat," desisnya kemudian.

"Bapak Tua Walalangi," perempuan yang mendukung jenazah berkata dengan heran. "Apakah sejak tadi kau tidak melihat saya memanggul mayat di bahu kanan?" perempuan ini memandangi wajah orang tua itu lekat-lekat.

Kemudian terdengar suaranya agak tertahan, "Astaga, Bapak Tua...! Kedua matamu ternyata buta. Harap maafkan orang!"

Ternyata bapak tua bernama Walalangi itu memang buta. Nyalang sepasang matanya yang berwarna kelabu. Dia mengangguk perlahan lalu ulurkan tangan meraba kepala mayat. Tangannya kemudian turun ke bawah, sampai di leher berhenti beberapa ketika. Ada darah hangat dan licin terasa membasahi jari-jarinya dan dia dapat meraba luka bacokan di leher mayat.

Powered by Blogger.