WS049 - Srigala Iblis
Kapilatu duduk mencangkung di depan Kiai Talang Bungsu sambil mengipas kayu api penjarang air. Sang Kiai sendiri duduk bersila di atas selembar tikar butut yang terletak di langkan sebuah gubuk terbuat dari bambu. Kedua matanya terpejam, mulutnya berkemik menggumam sementara jari-jari tangannya meluncur satu persatu di atas seuntai tasbih berwarna putih kehijauan.
Saat itu hampir menjelang tengah hari. Di puncak bukit yang tinggi itu teriknya sinar matahari dikalahkan oleh sejuknya udara segar. Justru saat itulah Kapilatu si pembantu melihat sesuatu yang tidak dimengertinya. Sambil terus mengipasi kayu api dan matanya memandang ke arah kanan, mulutnya berucap, "Aneh, siang-siang begini ada kabut di bukit."
Sepasang mata Kiai Tawang Bungsu bergerak, tapi tidak membuka. Jari-jarinya yang menyelusuri untaian tasbih berhenti bergerak.
"Kau melihat kabut katamu, Latu...?" bertanya Kiai Talang Bungsu.
"Benar sekali, Kiai," jawab si pembantu.
"Di jurusan mana?" bertanya lagi sang Kiai.
"Kira-kira dua puluh langkah di sebelah kanan gubuk kita, Kiai. Searah matahari terbit." Paras Kiai Talang Bungsu berubah.
"Yang kau lihat bukan kabut Latu. Ada seorang besar datang berkunjung," kata Kiai Talang Bungsu. Kedua matanya perlahan-lahan dibuka. Tasbih dimasukkannya ke dalam saku jubah putihnya, lalu orang tua ini bangkit berdiri dan melangkah turun dari langkan ke tanah. Dia berjalan tujuh langkah ke arah timur diikuti pandangan mata Kapilatu yang terheran-heran. Dalam hatinya pembantu ini berkata, "Makin lanjut usia orang tua ini, semakin banyak keanehan yang diperlihatkannya. Aku menampak kabut di seberang sana. Eh, dia bilang ada orang besar datang. Orang besar siapa?"
Tepat pada langkah ke tujuh Kiai Talang Bungsu hentikan langkahnya. Dia memandang tak berkesip ke arah kabut putih yang menyelubung semakin banyak sejarak lebih sepuluh langkah di hadapannya. Makin lama selubung kabut itu semakin tebal dan mendadak saja udara di bukit itu menjadi lebih dingin dari biasanya. Selubung kabut bergerak dan berubah aneh pada bagian tengah sampai ke atas. Lalu membentuk seperti bayang-bayang manusia. Dari bayang-bayang berubah lebih jelas membentuk satu sosok tubuh yang hanya terdiri dari bagian pinggang ke atas. Bagian bawah tenggelam dalam selubung kabut aneh. Orang itu laksana melayang di awan.
Kapilatu terkesiap dan ternganga saking tidak percaya akan apa yang disaksikannya. Di antara selubung kabut itu dia melihat satu sosok tubuh seorang tua berwajah gagah dan kelimis meskipun rambutnya yang disanggul kecil dan juga alis matanya berwarna putih keseluruhannya. Pada tangan kanannya dia memegang sebuah tombak emas bermata tiga yang memancarkan sinar kuning berkilauan.
"Manusia atau mahluk jejadiankah ini?" ujar Kapilatu dan tengkuknya terasa bergeming dingin. Perlahan-lahan dia beringsut ke belakang. Ketika sosok tubuh yang muncul dari dalam kabut itu semakin jelas terlihat hingga hampir tidak beda dengan keadaan manusia biasa, Kiai Talang Bungsu menjura dalam-dalam lalu berucap, "Sang Prabu, salam sejahtera untukmu. Ada gerangan apakah Sang Prabu berkenan berkunjung ke tempat saya yang buruk ini?"
Orang tua berselempang kain putih menggerakkan tangan kanannya yang memegang tombak emas bermata tiga. Sinar kuning menyambar ke arah wajah Kapilatu. Langsung saja pembantu ini rebah ke tanah dan terbujur seperti orang tidur.
"Kiai Talang Bungsu, aku datang tidak lama. Di alam arwah aku merasa tidak tenang karena ada orang-orang titisan darahku dalam menjalani masa kutukan telah menambah dosa mereka dengan melakukan kejahatan keji. Membunuh dan menyiksa orang-orang tidak berdaya dan tidak berdosa. Semua terjadi karena keserakahan menuruti kata hati, hendak menguasai manusia lainnya demi kepentingan sendiri di atas kepentingan saudara bahkan di atas kepentingan orang tua. Mereka telah mencorengkan arang busuk ke mukaku yang tak mungkin dipupus oleh tabib mana pun. Tak mungkin hilang sampai aku masuk liang kubur sekali pun. Mereka telah terlanjur hidup dalam kutukan, menjadi insan-insan separuh manusia separuh iblis. Keputusasaan membuat mereka melakukan perbuatan-perbuatan lebih jahat dari setan, lebih ganas dari iblis, lebih mengerikan dari pada hantu. Aku merasa tidak tenteram sebelum mereka dihancurkan sampai keakar-akarnya."
"Sang Prabu, apa yang jadi perintahmu akan saya laksanakan. Hanya saja, kalau saya boleh bertanya apakah insan separuh manusia separuh iblis yang Sang Prabu maksudkan itu adalah manusia-manusia srigala yang banyak gentayangan di rimba belantara Rekso Pratolo?" bertanya Kiai Talang Bungsu.
"Betul Kiai. Hancurkan mereka, cuma jangan samaratakan mereka. Ada beberapa gelintir yang menjadi mahluk iblis karena kemurkaan dan kutukanku. Tapi mereka tidak melakukan kejahatan. Untuk mereka hari-hari mendatang menjadi saat-saat pengampunan."
"Saya mohon petunjuk lebih lanjut, Sang Prabu!" kata Kiai Talang Bungsu pula.
"Dengar baik-baik Kiai. Saat ini juga kau harus pergi ke hutan Rekso Pratolo. Pergi ke bekas gubuk peristirahatanku. Gubuk itu berusia lebih dari dua ratus tahun. Masih untung kalau kau dapat menemukan bekas-bekasnya saja. Kau tunggu di gubuk itu! Menjelang matahari menggelincir ke barat besok, akan muncul seorang pemuda. Dia akan datang dalam keadaan kehausan. Berikan buah kelapa ini padanya. Setelah kau lihat dia meminumnya kau baru boleh meninggalkannya. Hanya itu saja yang jadi tugasmu!"
Orang tua yang dipanggil sebutan Sang Prabu itu gerakkan tangan kirinya. Tahu-tahu di tangan itu ada sebutir kelapa hijau. Buah kelapa ini diserahkannya pada Kiai Talang Bungsu.