WS048 - Memburu Si Penjagal Mayat
Pemandangan di lereng selatan gunung Merbabu indah sekali pagi itu. Di atas langit biru bersih disaput awan berarak yang dihembus angin perlahan-lahan dari timur ke barat. Di kaki gunung sebelah timur menghampar sawah luas yang tampak menguning tanda waktu panen yang menggembirakan para petani tidak lama lagi. Di sebelah barat tampak daerah perbukitan yang subur, menghijau tertutup daun-daun pohon jati yang telah berusia puluhan tahun. Membelah hutan jati, di sebelah tengah melintang sebuah sungai kecil yang dari jauh airnya kelihatan memutih seperti perak tertimpa cahaya matahari yang sedang naik.
Jauh di sebelah selatan menjulang gunung Merapi laksana raksasa penjaga negeri, penuh gagah dan perkasa. Gunung Merbabu sendiri berdiri tegak dalam kesunyian, seolah dibungkus oleh satu ketenangan misterius karena selama ini hampir tak ada orang atau penduduk sekitar tempat itu yang pernah naik. Jangankan sampai ke puncaknya, sepertiga lereng gunung pun kabarnya belum pernah didaki orang atau penduduk setempat. Konon pernah ada berita bahwa di atas gunung Merbabu itu terdapat sebuah pertapaan dimana tinggal seorang sakti pimpinan sebuah perguruan silat yang mempunyai beberapa anak murid. Sampai dimana kebenaran berita itu tidak pernah dibuktikan orang karena siapa pula yang mau menyelidik.
Angin gunung berhembus sejuk. Daun-daun pepohonan bergemerisik halus. Kicau burung terdengar di kejauhan. Lalu lenyap. Sunyi beberapa ketika. Sesaat kemudian kesunyian itu dipecahkan oleh suara siulan yang akan terasa aneh bagi siapa saja yang mendengarnya. Aneh karena suara siulan itu keras sekali seperti bukan suara siulan manusia. Lalu lagu maupun irama yang disiulkan itu sama sekali tidak sedap didengar karena kacau-balau naik turun tinggi rendah tidak menentu. Siapa gerangan orang yang bersiul ini?
Ternyata dia seorang pemuda berpakaian putih lusuh. Kepalanya yang berambut hitam gondrong diikat dengan sehelai sapu tangan putih. Di pinggangnya menonjol sesuatu, tanda di bawah pakaiannya pemuda ini membekal sebilah senjata. Entah golok, entah keris, ataupun pisau besar. Di tangan kanannya dia memegang sepotong ranting kayu yang dipergunakannya untuk menguak semak belukar atau rerantingan yang menghalangi langkahnya. Ketika angin bertiup lagi dan baju di bagian dada si pemuda tersingkap, terlihatlah tiga deretan angka yang dirajah pada dadanya. Angka 212. Tak pelak lagi pemuda yang bersiul tanpa juntrungan ini adalah Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng, murid si nenek sakti dari puncak gunung Gede. Dan benda yang menonjol di pinggang pakaiannya itu sudah dapat dipastikan adalah Kapak Maut Naga Geni 212, senjata mustika yang sulit dicari tandingannya dalam dunia persilatan.
Mendadak Pendekar 212 hentikan siulannya. Gerakan kedua kakinya ikut berhenti. Mulutnya dipencongkan ke kiri sedang cuping hidungnya sedikit memekar. Ketika dia mencoba menarik nafas dalam, tak ampun perutnya seperti terbalik dan dari tenggorokannya terdengar suara seperti mau muntah. Wiro meludah ke tanah berulang kali. Telapak tangan kirinya ditekapkan ke hidung. Dia memandang berkeliling. Dari mulutnya lalu terdengar suara mengumpat, "Bau busuk celaka apa yang menyambar hidungku di tempat ini?" Dia memandang lagi berkeliling, tapi tetap saja tidak melihat benda lain selain pohon-pohon dan semak belukar.
"Gila! Belum pernah aku mencium bau sebusuk ini!" kata Wiro dalam hati. Sesaat dia mendongak. Perasaan yang didorong oleh penciuman memberi tahu kepadanya bahwa bau busuk itu datang dari jurusan kanan.
"Hanya bau busuk sialan! Apakah aku harus menyelidiki?" si pemuda berpikir sambil garuk-garuk kepala. Akhirnya dia memutuskan untuk melakukan penyelidikan. Dengan tangan kanan yang memegang potongan ranting dan tangan kiri, dia menyibak semak belukar lebat. Dia melangkah menuju arah kanan dari mana datangnya sumber bau busuk yang dahsyat itu. Kali ini tak ada lagi suara siulan keluar dari mulutnya, malah sambil melangkah dia menutup jalan penciuman agar bau busuk itu tidak membuatnya keblinger. Ternyata semakin jauh dia melangkah ke jurusan kanan itu, semakin santar bau busuk menyebar. Kalau saja niatnya tidak keras mau rasanya saat itu juga dia membalikkan tubuh.
Mata sang pendekar yang tajam melihat ada beberapa bagian semak belukar di kiri kanan dan di sebelah depannya yang ranggas tanda sebelumnya ada seorang atau mungkin juga binatang yang melewati tempat itu. Agar lebih mudah bergerak, Wiro mengikuti saja bekas bagian-bagian rerantingan atau semak belukar yang telah menguak. Bekas yang telah dirambas orang ini akhirnya membawanya sampai pada suatu tempat yang penuh ditumbuhi keladi hutan. Di antara pohon-pohon keladi hutan berdaun lebar itu Pendekar 212 Wiro Sableng melihat sebuah buntalan besar kain kuning yang penuh dengan noda-noda merah.
Sepasang mata Wiro memandang tak berkedip pada buntalan kain kuning itu seolah-olah hendak berusaha menembus dan mengetahui apa yang ada dalam buntalan kain penuh noda merah itu. Nafasnya mulai sesak karena sudah terlalu lama menutup jalan penciuman. Matanya terus menatap buntalan kain yang menyangsrang diantara batang-batang keladi hutan. Kain kuning bernoda bercak merah. Dan warna merah itu.
"Bercak merah itu...," desis Wiro. "Itu hampir pasti adalah bercak darah. Dan buntalan itu, itulah sumber bau busuk yang kucium."
Entah mengapa saat itu tiba-tiba saja sang pendekar merasakan kuduknya menjadi dingin dan bulu tengkuknya mendadak ikut merinding. Sepasang kakinya terasa berat ketika dilangkahkan mendekati buntalan kuning yang menyangsrang diantara batang-batang keladi hutan yang besar-besar itu.