Header Ads

Niagahoster

WS033 - Panglima Buronan

Sri Baginda Raja seperti dihenyakkan setan di atas kursi kebesarannya. Singgasana itu terasa seperti bara panas. Wajahnya yang penuh kerut ditelan usia lanjut tampak kelam membesi. Dadanya turun naik, sedang sepasang matanya menatap tak berkesip pada Raden Mas Jayengrono yang duduk bersila di hadapannya.

Serial Wiro Sableng

Sang raja meraskan tenggorokannya seperti kering. Mulutnya terbuka tapi lidahnya seperti kelu. Setelah hening beberapa lamanya, dengan suara bergetar Sri Baginda akhirnya bersuara juga.

"Jika bukan Raden Mas yang bicara sungguh sulit aku mempercayai cerita itu...!"

"Sebenarnya hal itu sudah lama saya ketahui Sri Baginda. Hanya saja saya takut untuk menyampaikannya."

"Kalau untuk kebenaran mengapa takut? Hanya saja, apakah kau punya bukti-bukti nyata? Saksi-saksi...?"

"Saya tidak berani melapor pada Sri Baginda kalau tidak mempunyai bukti dan saksi hidup," sahut Jayengrono yang Panglima Balatentara Kerajaan itu. "Sekian puluh pasang mata melihat dan mengetahui kejadian itu. Termasuk Patih Kerajaan dan Kepala Pasukan Kotaraja. Cincin emas bergambar burung rajawali milik puteri Sri Baginda terlihat di jari tangan manusia bernama Pangeran Matahari. Pembunuh Tumenggung Gali Marto. Pembunuh dua orang putera Sri Baginda. Ketika diperiksa, secara aneh cincin itu tahu-tahu sudah berada kembali di tangan Raden Ayu Puji Lestari. Kejadian yang mencurigakan berikutnya ialah munculnya seorang pemuda berkulit hitam bertindak selaku pelindung Raden Ajeng Siti Hinggil dan puterinya. Jika tidak terdapat hubungan rahasia antara Pangeran Matahari dengan istri Sri Baginda, bagaimana mungkin cincin itu berpindah-pindah tangan?"

Lama Sri Baginda terdiam. Tutur apa yang diketahuinya, dibandingkan dengan keterangan Raden Mas Jayengrono, segala sesuatunya memang cocok benar.

"Raden Mas, tahukah engkau apa artinya jika kemudian keterangan yang kau sampaikan saat ini ternyata tidak benar...?" Sang raja bertanya seolah-olah ingin menolak hal yang sebenarnya dia sendiri sudah mempercayainya.

"Saya tahu dan mengerti sekali Sri Baginda," jawab Jayengrono. "Untuk itu saya bersedia dipancung."

Kembali Sri Baginda terdiam. Kali ini lebih lama dari tadi sehingga karena tidak sabar Jayengrono membuka mulut berkata, "Sri Baginda, saya mohon petunjuk lebih lanjut!"

"Aku perintahkan kau menangkap ibu dan anak itu!" Tiba-tiba saja Sri Baginda menjawab tegas.

"Itukah keputusan Sri Baginda?" bertanya Jayengrono.

"Itu keputusan raja! Sekalipun anak dan istri sendiri, jika membuat kesalahan perlu dihukum. Pengadilan para sesepuh kerajaan nanti yang akan menentukan hukuman apa yang patut dijatuhkan terhadap kedua perempuan itu."

"Jika begitu bunyi perintah, begitu pula yang akan saya lakukan. Saya kawatir sekali akhir-akhir ini Sri Baginda..."

"Hemmmm...! Apa maksudmu Raden Mas?"

"Saya kawatir kalau-kalau Raden Ajeng Siti Hinggil dan puterinya secara diam-diam bersekutu dengan Pangeran Matahari untuk merampas tahta kerajaan. Bukankah tempo hari sewaktu menyerbu ke mari pangeran jahat itu bermaksud menghabisi Sri Baginda? Dan bukan mustahil pula orang-orang di utara mengipas-ngipas terjadinya pemberontakan. Yaitu sejak gembong-gembong pemberontak kita tangkap dan hukum mati menjelang bulan Maulud dua tahun silam."

"Semua akan tersingkap di sidang pengadilan para sesepuh kelak..."

"Saya harapkan begitu," kata Raden Mas Jayengrono pula. Lalu Panglima Balatentara Kerajaan ini menghaturkan sikap hormat dan mohon diri.

-=oOo=-

Baru saja matahari menerangi jagat pagi itu, Raden Ayu Puji Lestari Ambarwati yang tegak di belakang jendela berpaling pada ibunya dan berkata, "Ada rombongan datang!"

Raden Ajeng Siti Hinggil bangkit dari kursinya, menyibakkan tirai jendela dan memandang ke arah halaman. Benar apa yang dikatakan puterinya. Serombongan orang terdiri dari delapan prajurit memasuki halaman gedung kediamannya. Di sebelah belakang menyusul sebuah kereta. Lalu paling belakang sekali seorang lelaki berpakaian mewah, menunggang seekor kuda coklat yang bukan lain Jayengrono, Panglima Balatentara Kerajaan.

"Dugaan ibu tidak meleset Puji. Manusia itu benar-benar menjalankan niat busuknya. Mereka datang untuk menangkap kita."

"Menangkap kita?!" kejut Puji Lestari mendengar ucapan sang ibu.

"Benar. Menangkap kita anakku. Menangkap kau dan aku!"

"Tapi apa salah kita?!" tukas sang puteri dengan mata membelalak.

Raden Ajeng Siti Hinggil ingat pada pembicaraan dan ancaman Jayengrono kemarin, lalu menjawab, "Jika seseorang ingin mencelakai kita, dia bisa mendapatkan seribu satu kesalahan pada diri kita."

"Tapi ibu! Kita ini bukan rakyat jelata yang bisa dilakukan semena-mena. Kau adalah istri Sri Baginda Raja! Dan aku puteri raja!"

"Jawabnya mudah anakku! Sri Baginda telah termakan dan percaya pada hasut dan fitnah!"

"Saya akan mengusir manusia gila itu!" kata Raden Ayu Puji Lestari setengah berteriak.

"Tak ada gunanya Puji. Takdir Tuhan mungkin memang kita harus mengalami nasib begini."

Ucapan Raden Ajeng Siti Hinggil terputus ketika pintu besar ruangan depan itu terbuka. Sosok tubuh Jayengrono masuk diiringi lima orang prajurit.

"Raden Ajeng..." Jayengrono hanya sempat mengucapkan dua patah kata itu karena Siti Hinggil lebih cepat memotong.

"Tak perlu banyak bicara dan segala macam peradatan palsu! Aku dan puteriku siap untuk ditangkap. Hanya saja beri waktu aku meninggalkan pesan pada para inang pengasuh Pangeran Sebrang agar mereka menjaga anak itu selama aku di penjara!"

Lalu tanpa menunggu apakah permintaannya itu diizinkan atau tidak, Raden Ajeng Siti Hinggil masuk ke dalam. Tak lama kemudian dia keluar lagi dan melangkah ke pintu sambil menggandeng tangan Puji Lestari.

Sebenarnya Jayengrono ingin menyampaikan sesuatu pada Raden Ajeng Siti Hinggil, namun karena ibu dan anak itu selalu rapat bersama-sama maka terpaksa niatnya itu dibatalkan.

Sebelum naik ke atas kereta Raden Ajeng Siti Hinggil sesaat berpaling pada Jayengrono. Wajahnya sinis ketika berkata, "Tentunya kau puas sekarang Raden Mas! Tapi aku lebih puas karena tidak bersedia memenuhi permintaanmu!"

Begitu duduk dalam kereta, baru saja kendaraan itu bergerak, Puji Lestari memandang pada ibunya dan bertanya, "Ibu, apa maksudmu tadi? Ucapanmu bahwa ibu merasa lebih puas karena tidak bersedia memenuhi permintaan Panglima Balatentara itu. Memangnya...apa yang pernah dimintanya padamu...?"

Siti Hinggil menggelengkan kepala. "Permintaan gila yang tak ada gunanya kau ketahui, Puji...!"

Tapi sang puteri malah mendesak, "Kau harus menceritakan padaku ibu!"

"Tak ada perlu diceritakan. Dan ibu tidak ingin kita membicarakan hal itu. kalau saja adikmu Pangeran Anom masih ada, mungkin tidak seburuk ini nasib kita."

"Belum tentu ibu. Mungkin malah lebih buruk," menyahuti Puji Letari.

Raden Ajeng Siti Hinggil manarik nafas dalam. "Dunia ini memang aneh. Kita, istri dan puteri raja bisa diperlakukan seperti ini."

"Bukankah tadi ibu sendiri yang bilang bahwa ini semua mungkin takdir Tuhan."

Istri ketiga Sri Baginda Raja itu tersenyum pahit.

"Justru anehnya, sekarang aku malah meragukan. Apakah ini memang benar takdir Tuhan atau maunya manusia-manusia jahat dan busuk yang memegang kekuasaan?"

Kereta bergerak makin cepat ke arah timur, memasuki kotaraja melalui pintu gerbang tua yang masih ditancapi umbul-umbul warna hitam serta kuning, pertanda berkabung atas tewasnya dua putera Sri Baginda di tangan manusia jahat Pangeran Matahari beberapa waktu lalu.

Powered by Blogger.