Kubah
Dia tampak amat canggung dan gamang. Gerak-geriknya serba kikuk sehingga mengundang rasa kasihan. Kepada komandan, Karman membungkuk berlebihan. Kemudian dia mundur beberapa langkah, lalu berbalik. Kertas-kertas itu dipegangnya dengan hati-hati, tetapi tangannya bergetar. Karman merasa yakin seluruh dirinya ikut terlipat bersama surat-surat tanda pembebasannya itu. Bahkan pada saat itu Karman merasa totalitas dirinya tidak semahal apa yang kini berada dalam genggamannya.
Sampai di dekat pintu keluar, Karman kembali gagap dan tertegun. Menoleh ke kiri dan kanan seakan ia merasa sedang ditonton oleh seribu pasang mata. Akhirnya, dengan kaki gemetar ia melangkah menuruni tangga gedung Markas Komando Distrik Militer itu.
Terik matahari langsung menyiram tubuhnya begitu Karman mencapai tempat terbuka di halaman gedung. Panas. Rumput dan tanaman hias yang tak terawat tampak kusam dan layu. Banyak daun dan rantingnya yang kering dan mati. Debu mengepul mengikuti langkah-langkah letaki yang baru datang dari Pulau B itu. Dari jauh Karman melihat lapisan aspal jalan raya memantulkan fatamorgana. Atap seng gedung olahraga di seberang jalan itu berbinar karena terpanggang panas matahari.
Karena kegamangan belum sepenuhnya hilang, Karman berhenti di dekat tonggak pintu halaman. Tubuhnya terpayungi oleh bayang pohon waru yang daun-daunnya putih karena debu. Karman makin terpana. Dua belas tahun yang lalu suasana tak seramai itu. Mobil-mobil, sepeda motor, dan kendaraan lain saling berlari serabutan. Anak-anak sekolah membentuk kelompok-kelompok di atas sepeda masing-masing. Mereka bergurau sambil mengayuh sepeda. Dan semua bersepatu serta berpakaian baik, sangat berbeda dengan keadaan ketika Karman belum terbuang selama dua belas tahun di Pulau B.
Karman masih terpaku di tempatnya. Kedua matanya disipitkan. Dilihatnya banyak gedung baru bermunculan. Gedung-gedung lama dipugar atau diganti sama sekali. Oh, kota kabupaten ini benar-benar sudah berubah, pikirnya. Dan anehnya perubahan yang tampak merata di depan mata itu membuat Karman merasa makin terasing. Sangat jelas terasakan ada garis pemisah yang tajam antara dirinya dengan alam sekitar. Ia merasa tidak menjadi bagian dari bumi dan lingkungan yang sedang dipijaknya. Karman merasa dirinya begitu kecil; bukan apa-apa. Semut pun bukan.
"Ya, tentu saja. Aku kan hanya seorang bekas Tapol, tahanan politik!" begitu Karman berkali-kali meyakinkan dirinya. Lelaki itu masih belum mampu beringsut dari bawah bayangan pohon waru. Ia tidak sadar, Komandan Kodim memperhatikannya dari dalam gedung. Pak komandan menduga ada sesuatu yang menyebabkan lelaki itu tidak bisa segera meneruskan perjalanan ke kampungnya. Padahal surat-surat resmi sebagai bekalnya kembali ke tengah masyarakat sudah cukup. Sudah lengkap. Pak komandan tahu pasti. Maka perwira itu menggapai ajudannya.
"Temui orang yang baru tiba dari Pulau B itu. Dia masih berdiri di pintu halaman. Suruh dia cepat meneruskan perjalanan. Atau berilah dia dua ratus rupiah, barangkali ia kehabisan bekal."
"Siap!"
Ajudan keluar, langsung melangkah ke arah Karman yang masih berdiri, bingung karena tak yakin apa yang sebaiknya dia lakukan. Kesadaran Karman benar-benar sedang berada di luar dirinya. Maka ia tak mendengar suara langkah sepatu tentara yang sedang mendekat. Ketika ajudan yang berpangkat sersan itu menepuk pundaknya, Karman terkejut. Darah langsung lenyap dari wajahnya. Sikap santun Pak Sersan tak mampu menepis rasa takut yang mendadak mencengkeram hati Karman.
"Atas perintah komandan, saya menemui Anda. Surat-surat pembebasan Anda sudah lengkap. Kata komandan, sebaiknya Anda segera meneruskan perjalanan. Apabila uang jalan sudah habis, komandan memberikan ini untuk Anda."
Karman sedikit pun tidak memperhatikan lembaran uang yang ditawarkan oleh sersan itu. Ia masih tercengang. "Oh, untunglah komandan bukan memanggilku untuk diperiksa kembali," pikir Karman. Bibirnya gemetar. Setelah detak jantungnya mereda, Karman berkata tergagap.
"Oh. Terima kasih. Anu. Baik. Baiklah. Saya akan meneruskan perjalanan. Terima kasih. Uang jalan saya masih ada."
Dengan cara menekuk punggung dalam-dalam, Karman memberi hormat kepada Pak Sersan. Kemudian ia memutar tubuhnya dan berjalan beberapa langkah sampai ke gili-gili. Dan berhenti. Termangu. Lalu-lintas dihadapannya terlalu sibuk dan asing baginya. Namun ia harus menyeberang.
Dari depan gedung Kodim, Karman berjalan ke barat mengikuti iring-iringan orang banyak. Karman, meski ukuran tubuhnya tidak kecil, saat itu merasa menjadi rayap yang berjalan diantara barisan lembu. Ia selalu merasa dirinya tak berarti, bahkan tiada. Demikian, pada hari pertama dinyatakan menjadi orang bebas, Karman malah merasa dirinya tak berarti apa-apa, hina-dina. Waktu berjalan ke barat sepanjang gili-gili itu, Karman sebenarnya amat tersiksa. Tatapan mata sekilas orang-orang yang kebetulan berpapasan terasa sangat menyiksa. Oh, andaikan ada secuil tempat untuk bersembunyi, mungkin Karman akan menyelinap ke sana. Karman akan menyembunyikan diri karena pembebasan dirinya belum mampu mengembalikan dia dari keterasingan.
Dan tak lama kemudian lelaki berusia 42 tahun itu mendapatkan apa yang diinginkannya, sebuah tempat yang enak untuk duduk, di bawah pohon beringin alun-alun kabupaten.