Sang Mundinglaya
Hari ini di dayo (kota) suasana amatlah ramainya. Penduduk di wilayah jawi khita (benteng luar) terlihat banyak orang hilir mudik. Semakin mendekati alun-alun utara, semakin terasa keramaian itu.
Di tepi-tepi alun-alun misalnya, sepagi itu sudah banyak pedagang menjajakan bermacam-macam dagangan. Ada yang menjajakan alat pertanian seperti cikrak, balincong, parang ataupun garu dan cangkul. Ada juga yang menjajakan alat berburu seperti katapel, pitapak, tombak dan galah.
Biasanya para orang tua banyak berkerumun di tempat jualan alat pertanian. Sementara para pemudanya banyak mendekati pedagang alat berburu atau bahkan alat kewiraan seperti golok, tombak, trisula, ataupun pedang walaupun kualitas dan buatannya amat sederhana. Sementara kaum perempuan banyak melihat-lihat jajaan berbagai jenis alat kecantikan dan pakaian.
Kendati orang Pajajaran waktu itu belum membuat sendiri kain halus seperti sutra misalnya, namun pada hari itu para saudagar kain ada juga yang menjual barang-barang halus itu.
"Ayo kapan lagi dapatkan barang halus buatan Nagri Parasi. Ayo, bisa ditukar dengan barang-barang buatan pedalaman!" teriak pedagang kain dengan semangat. Melihat tampang dan gaya pakaiannya, saudagar kain itu jelas bukan orang Pajajaran. Hidungnya yang mancung serta matanya yang bulat serta rambutnya yang berombak tertutup sorban, hanya mengingatkan penduduk Pakuan bahwa penjual kain halus itu berbangsa Turki atau India.
Orang Pakuan sebetulnya sudah tak perlu heran. Pelabuhan Sunda Kalapa yang terletak di muara Sungai Ciliwung adalah pelabuhan dagang internasional yang kerap kali didatangi oleh kaum pedagang dari berbagai bangsa, baik dari daratan Asia maupun dari daratan Eropa seperti Portugis misalnya. Namun yang membuat heran mereka, ada keberanian khusus yang dilakukan pedagang berhidung mancung dan bersorban ini. Bila dia datang datang dari Gujarat, maka penduduk Pakuan cukup untuk mengangkat jempol sebagai pertanda pujian bagi saudagar Gujarat. Mengapa demikian, sebab penduduk Pakuan tahu kalau pemerintah Pajajaran, terutama yang berkuasa di ibukota Pakuan, sebetulnya tidak memberikan keleluasaan bagi pedagang dari Gujarat untuk berdagang di pelabuhan-pelabuhan penting milik Pajajaran. Hal ini terjadi karena penguasa Pajajaran hari-hari belakangan ini tengah menjalin kerjasama dagang dengan bangsa Portugis. Bangsa Portugis akan mengirimkan berbagai barang keperluan Pajajaran asalkan diberi keleluasaan berdagang di wilayah Pajajaran. Sebagai tambahan dari perjanjian itu, pihak Pajajaran harus membatasi para pedagang muslim dari Gujarat untuk datang ke wilayah Pajajaran. Karena perjanjian ini dianggap menguntungkan Pajajaran, maka pihak penguasa Pajajaran menyetujuinya.
Maka alangkah ganjilnya bila di hari keramaian seperti ini, terlihat ada pedagang dari Gujarat ikut menjajakan jualannya di tepian alun-alun Kota Pakuan.
"Ah, sekali ini mungkin mereka diperbolehkan sebab ini adalah hari-hari khusus..." tutur seorang penduduk kepada temannya.
Hari-hari khusus yang dimaksud, karena hari-hari belakangan ini Kota Pakuan tengah memperingati hari kuwerabakti. Kuwerabakti adalah hari persembahan. Setahun sekali, seluruh negeri bawahan Pajajaran datang mengunjungi Pakuan untuk mengirimkan seba atau pajak tahunan. Negeri yang subur lahan huma, mengirimkan seba berbentuk beras. Negeri yang subur ladangnya, memberikan hasil ladang seperti umbi-umbian dan kacang-kacangan. Demikian pula yang subur hasil ikannya, memberikan seba hasil ikan.
Hanya saja dalam tahun-tahun terakhir ini Negeri Cirebon diisukan menghentikan kiriman sebanya. Kalau benar begitu, maka bisa diduga, di hari kuwerabakti yang akan berlangsung 40 hari 40 malam itu, Pakuan bakal kehilangan seba terasi dan petis sebab selama ini Negeri Cirebon selalu mengirimkan seba terasi dan petis. Kedua jenis makanan itu amat disukai orang-orang pedalaman. Maka kalau Cirebon benar tak akan mengirimkan terasi dan petis, maka penduduk pedalaman akan kelabakan.
"Sebetulnya pedagang dari Gujarat itu perlu dicurigai juga. Jangan-jangan dia hanyalah seorang mata-mata yang diutus penguasa Cirebon..." tutur seorang perjurit Pakuan kepada temannya.
"Mengapa begitu, Ki Silah (saudara)?" tanya temannya.
"Para pedagang muslim itu lebih dekat kepada Cirebon ketimbang kepada Pajajaran. Sekarang orang tengah menduga kalau Cirebon akan memisahkan diri dari Pajajaran. Maka siapa tahu kalau pedagang Gujarat itu bekerja untuk kepentingan Cirebon?"
"Bisa jadi..." temannya mengangguk-angguk sambil memperhatikan gerak-gerik pedagang bersorban itu. Namun sampai senja berganti, tak ada kelakuan mencurigakan. Pedagang bersorban berhidung mancung itu kerjanya hanya berteriak atau melayani pembeli saja. Lain dari pada itu, boleh dikata tak ada sesuatu yang mencurigakan.